S.SUDJOJONO, (Alm). Dilahirkan di Kisaran Sumatera Utara, tahun 1913, Adalah pelukis Masa kedua Seni Rupa Indonesia yang bermula menjelang 1940. Mulai belajar dari M.Pirngadi dan pelukis Jepang Yasaki di Jakarta, mereka membimbing dengan cara memberikan dasar‑dasar pewarnaan, cara melukis berikut pandangannya. Pernah mengikuti sekolah guru Kweekschool di zaman Hindia Belanda, Lembang Bandung tahun 1937. Sudjojono berhasil mengikuti pameran bersama orang‑orang Eropah. Ia mendapat pujian. Dan kira‑kira pada tahun yang sama berdirilah PERSAGI. Ia menjadi tokoh pada perkumpulan ini karena pikiran‑pikirannya. Lalu , berturut‑turut ia aktif pula pada perkumpulan POETRA dan SIM. Konsep Seni Lukis : Dia menganggap bahwa perlunya pencarian ide dengan yang kreatip, dia menentang adanya hambatan bagi kebebasan pribadi ). S.Sudjojono berkeyakinan bahwa pelukis harus bebas dari kaidah‑kaidah, agar jiwa bisa tercurah isinya dengan sebebas‑bebasnya. Dengan demikian , lukisan diukur tidak dari ketepatan melukiskan objek, tetapi dari bagaimana intensnya suatu kegemasan (hubungan subjek‑objek) dapat terlihat pada garis‑garis yang disapukan di atas kanvas. Dengan pendapat ini dan penempatan seni lukis pemandangan alam pada kubu‑kubu "Barat", Sudjojono dan sejumlah pelukis lain saat itu mendapat motivasi dan penentangnya. Sudjojono sendiri mengatakan ; "Saya ingin tahu, seberapa jauh saya ketinggalan dari orang‑orang Eropah". Pada kata‑kata itu, terkandung suatu keyakinan bahwa dengan cara yang lebih "nggreget" semangat Indonesia yang ada pada mereka akan menjadi sumber yang kuat.Pendapatnya, " lukisan adalah jiwa nampak" dibantu suasana saat itu, banyak mempengaruhi pelukis‑pelukis lain. Di tahun 1945 Sudjojono menyatakan "pergi ke Realisme". Ia saat itu tidak setuju pada cara melukis yang terlampau nggreget yang tidak menghasilkan abstraksi dan demorfasi. Lukisan ini dianggapnya tidak bisa dimengerti oleh rakyat. Sudjojono menyatakan " realisme"nya dengan melukis lebih cermat, lukisannya pada masa ini nyaris nampak sebagai potret. Sudjojono bertahan pada realismenya sampai kurang lebih tahun 1958. Tahun 1960 lukisannya nampak kembali pada keyakinannya, yang semula, menampilkan sapuan‑sapuan yang kuat. Akan tetapi tema‑tema dalam lukisannya tidak banyak berubah. Sejak mula , ia memperlihatkan ikatan yang kuat dengan peristiwa‑peristiwa di sekelilingnya. Sesudah pada masa PERSAGI dan dikemukakan pula di tahun‑tahun berikutnya‑ Sudjojono percaya bahwa lukisan adalah "jiwa nampak". Bahwa watak itu "nampak" pada mutu satuan kwas, warna‑warna, bentuk‑bentuk jadi pada elemen‑elemen rupadan susunannya, juga bahwa, dengan demikian, pelukis dapat menciptakan karya besar, sekalipun ia hanya menggambarkan barang yang kecil atau remeh. Karya‑karya S.Sudjojono yang pertama adalah arang diatas kerta, melukiskan figur atau anak. Lukisannya mementingkan pencapaian ekspresi watak disamping kemiripan anatomis. Anehnya karyanya disertai sebari atau dua syair yang mengungkapkan karya ini. Ini dilukiskan di bagian atas atau bawah lukisannya. Sebagai contoh lukisan mengenai anak yang duduk di lantai memandang tulisan "O burung bawalah aku terbang". Disebalh tanda tangannya terbaca "SS" dan nomor "101" adalah nomor baku sebagai siswa di sekolah guru Kweekschool di zaman Hindia Belanda, Lembang Bandung.Visi seni dan intuisi S.Sudjojono membuat karya‑karya seni lukis arangnya memiliki ciri‑ciri spontanitas dan kedalaman. Disamping melukis dengan arang S.Sudjojono juga melukis dengan bahan pastel walaupun masih bersifat studi, sebagian karya pastelnya memiliki kecendrungan memandang alam dan kehidupan secara lebih luas. Dengan kecakapan dan produktifitas yang tinggi, dia banyak menyajikan karya pastel yang bersifat impresionis, berbagai kesan mengenai jajaran gedung nampak padat dan kering oleh terik matahari di berbagai jalan di kota Jakarta. Lukisannya yang lain menggambarkan keserhanaan kehidupan pedagang kaki lima dengan bangunan gedung kota sewaktu masih bernama Batavia. Karya S.Sudjojono semasa studinya ditandai dengan kehendak menyususn tema dalam dua gaya : ekpresionisme dan gaya naif. Untuk menunjang seni ekpresionismenya dia banyak menggunakan bahan cat minyak. Percobaan S.Sudjojono dalam menyusun tema yang khas , bertalian dengan penggambaran jalan pikiran yang menghayati situasi lingkungan, kadangkala nampak dia untuk meminjam unsur‑unsur motif karya seniman luar negeri yang dikaguminya. Namun dalam olahannya nampak gaya yang bersifat pribadi S.Sudjojono .Misalnya lukisan yang berjudul "jalan lempang, kemudian lukisan dengan judul "burung‑burung hitam yang nampak bertebangan diatas ladang". Dipergunakan S.Sudjojono untuk melatarbelakangi tema potret diri yang bersifat simbolis, untuk menggambarkan keyakinannya bahwa berjalan diatas jalan yang lempang dan jujur, telah mengundang masuknya motif burung‑burung hitam yang berterbangan diatas ladang, sebagai pengaruh dari lukisan Van Gogh dari Belanda. Di dalam lukisan ini dirinya dilukis berbaju putih, dengan membawa tas atau peti cat ditangannya. Lukisan ini sekan hendak mencoba mengisahkan perjalanan atau cita‑cita pembaruan seni lukis indonesia, yang mengesankan keingnan membuang kecakapan teknis melukis ( menentang hal yang dimiliki pelukis Hindia Molek ). Dalam eksperimen lainnya S.Sudjojono menggambarkan raksasa tengah menelan orang (dalam pengertian simbolis). Lukisannya yang lain yang menggambarkan beberapa orang anak sedang kejar‑kejaran mengelilingi sebuah pohon, memperlihat kan ungkapan pribadi Karya ini kuat ekspresinya karena gaya bebasnya, penyederhanaan bentuk yang dominan. Sebaliknya , dengan ungkapan warna kuas , mampu menimbulkan kesan magis dari warna kecoklatan yang berat, tentu tidak berasal dari dunia anak‑anak, tetapi sebagai pernyataan pelukisnya.Sebuah karyanya yang berjudul "nyekar" hendak menerang kan secara sederhana dan jelas, apa makna mengirim bunga dimakan bagi si arwah.Arti pengiriman bunga yang membahagiakan arwah itu oleh S.Sudjojono dilukiskan dengan penggambaran kedatangan ke bumi, menemui keluarga yang sedang menaburkan bunga. Karya surrealistis S.Sudjojono ini ingin menggambarkan kepercayaan tradisional yang dimiliki sebagian rakyat Indonesia. Sedangkan karya "Sayang kita bukan anjing", hendak melukiskan keteguhan batin. Batin yang menolak terpancing, sebagaimana anjing melihat sekerat daging pasti akan berusaha untuk memakannya, walaupun daging itu diikat tali dan dilarikan orang secepat anjing yang mengejarnya. Tidak demikian halnya dengan manusia yang memilih memperjuangkan kemerdekaan. Dari pada percaya pada janji Jepang untuk kelak akan memerdekaan kita melalui suatu persiapan yang panjang dan tidak meyakinkan. Karyanya mengenai orang bermata satu nampak sangat mengerikan dan mungkin sekali karya yang paling mengekspresikan pengenalan S.Sudjojono terhadap dua magi. Diantara karya terakhir S.Sudjojono dijalam pendudukan Jepang, yang juga menggunakan gaya ekspresionisme‑naif, sebagaimana pada lukisan "Jalan Lempang" atau "Nyekar", melukiskan potret dirinya sebagai ayah yang sedang membimbing anaknya yang masih kecil, di halaman rumah yang penuh dengan tanaman bunga. Gaya‑gaya tersebut diatas rata‑rata dapat digolongkan ekpresionisme naif. Menemukan akarnya pada karyanya "Cap Go Meh" dari tahun 1940 sebagai puncaknya. Tentang masterpiece S.Sudjojono yang lain dan sukar terlupakan, tidak terungkap dalam gaya naif, tetapi dalam gaya ekspresionisme. Yaitu lukisan "di Balik Kelambu". Karya ini melukiskan seorang perempuan yang duduk dimuka kelambu terbuka. Wajah wanita berpandangan sayu, menyayat. Walaupun dalam sikap memandang terdapat pengertian dan kerelaan, namun penyerahan dirinya pada penderitaan hidup dalam kekurangan, dirasakan berat. Dalam kumpulan tulisannya yang berjudul seni lukis kesenian dan seniman, kita menjumpai pertimbangan dan pengarahan seninya antara lain sebagai berikut ; Agus Djaja) Bahwa setiap seniman pertama‑tama harus berwatak seniman pula, yang berani melontarkan idenya kepada dunia, walaupun tidak mendapatkan tanggapan publik sekalipun.Dengan watak dan sikap demikian saja, ia berani memperjuangkan apa yang dinamakan kebenaran dan mencintai apa yang diyakininya sebagai keindahan. Bukan keindahan sebagaimana arti bagus dalam pengertian publik, tetapi keindahan dalam arti estetik bagi seorang seniman. B) Kesenian yang tinggi, diinspirasikan dari kehidupan sehari‑hari, setelah berhasil diolah menurut pandangan seniman; ia hanya diciptakan atas dorongan dari dalam saja, yang memaksa seniman untuk melahirkannya.
SENI MINIMAL, MINIMAL ART, Masa sekitar tahun 1960‑an merupakan masa yang penuh gejolak. Hal ini ditandai dengan berbagai peristiwa penting baik di bidang politik, sosial , ekonomi, maupun budaya. Berbagai peristiwa penting yang terjadi dan berpengaruh pada berbagai bidang kehidupan dunia , dan khususnya Amerika adalah pecahnya perang Vietnam, pendirian tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur dan Barat. Krisis ekonomi dunia yang disebabkan embargo minyak Arab, akibat perang Arab‑Israel, persaingan antara Amerika dan Uni soviet terutama dibidang politik, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ditandai dengan persaingan dalam pengorbitan awak pesawat luar angkasa ke bulan. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang disebabkan oleh segala kemajuan disegala bidang, terutama dibidang penelitian kedokteran, industri dan juga komunikasi meningkatkan konsumsi massa, mengubah gaya hidup kearah masyarakat konsumtif sekaligus menurunkan kualitas sumber daya alam.Gejolak‑gejolak tahun 1960‑an tampak pula pada bidang seni, yang cendrung merupakan reaksi atas ketimpangan yang melanda dunia. Masa sekitar tahun 1960‑an merupakan masa lahir dan tenggelamnya musik rock, yang identik dengan gejolak kaum muda, juga Seni Pop, untuk bidang seni rupa. Kelahiran Seni Pop yang banyak mengangkat kritik sosial tersebut berpengaruh pula pada aliran‑aliran yang muncul tidak lama berikutnya dan saling berpengaruh satu dengan lainnya. Dua diantara aliran‑aliran yang bermunculan tersebut adalah Seni Minimal dan Super‑Realisme. Jika surrealisme merupakan sumber yang mempengaruhi gerakan Abstrak‑Ekspresionisme, Seni Pop melebihi kekuatan yang dimiliki Surrealisme dan Dada, kemudian Seni Optik dan Seni Kinetik ditemukan dalam eksperimen‑eksperimen yang dilakukan di Bauhaus. Seni Minimal merupakan penggabungan dari pengaruh Dada dan faham Bauhaus. Seni Minimal termasuk bentuk seni yang kontroversial, karena sulit untuk dimengerti, sehingga selalu mendapat kritikan keras dari kalangan kritikus. Kesulitan ini membuat rumit bagi pengamatnya karena gaya Seni Minimal merupakan penciptaan gagasan baru mengenai skala, ruang, pengisian ruang, bentuk dan objek. Seniman harus menyusun ulang hubungan antara seni sebagai objek dan antara objek dengan manusia. Perhatian seniman Seni Minimal terutama pada ruang negatif, arsitektur, alam dan mekanisasi, yang semuanya itu memiliki karak tersendiri ) Seni Minimal diawali dari 'epistemologi kubus' yang berlaku sebagai komitmen terhadap kemurnian yang nyata, ketegasan konsep, keharafiahan dan kesederhanaan . Penafsiran kubus yang tidak terbatas menciptakan suatu kesan keseimbangan yang sempurna, dan suatu visualisasi yang simetris, tidak pernah menyimpang dari bidang dasar gambar yang direncanakan secara kaku. Unit‑unit yang monoton yang menghasilkan aturan modul yang berarti sangat bertolak belakang dengan kebebasan ). Jika kita perhatikan pernyataan Frank Stella, bahwa :" Apabila lukisan harus mempunyai susunan yang rumit, seperti Abstrak‑Ekspresionisme atau Surealisme, maka seorang yang tidak mahir dan terbiasa melukis akan mengalami kesulitan untuk melukis, sehingga dia akan mencoba untuk menyederhanakannya. ). Pada tahun 1913 , Malevith menempatkan karya berbentuk bujur sangkar hitam di tanah putih yang dinyatakan bahwa : seni bukan untuk mempertahankan masalah pengabdian pada negara dan agama, bukan pula untuk melestarikan sejarah. Dan bukan untuk berpikir lebih jauh , berbuat sesuatu dengan objek dan meyakini bahwa tindakan ini ada dalam dirinya sendiri tanpa dipikirkan. ) Yang mendorong lahirnya Seni Minimal , pada awalnya bersumber dari seni lukis yang dua dimensional , bertujuan untuk membalikkan nilai‑nilai yang mapan dari seni generasi sebelum Abstrak‑Ekspresionisme, tetapi kemudian berkembang menjadi tujuan seni tiga dimensional yaitu untuk menyusun ulang penataan seni patung dalam susunan yang benar menurut kriteria visual. Pada saat itu Abstrak Ekspresionisme kurang terkait dengan gaya seni patung, dan Abstrak‑Ekspresionisme hanya sukses pada seni lukis yang sifatnya dua dimensi. Cikal‑bakal Seni Minimal sebagai estetika baru dimulai ketika Frank Stella beserta kawan‑kawannya dalam pameran "Sixteen American" di Museum Moderen Art pada tahun 1959. Stella memamerkan bidang kosong yang tidak berisi apa‑apa kcuali garis‑garis halus. Karya ini berupa garis‑garis yang dillukis dengan menggunakan email hitam langsung dari kaleng, kemudian disusun membentuk garis‑garis lurus atau pola‑pola silang. Lukisan tersebut tanpa ada apa‑apa kecuali hanya keberaturan yang diujudkan dalam komposisi garis‑garis kaku dan impersonal. Stella menegaskan bahwa ada dua persoalan yang harus diutarakan sebelum asumsi Abstrak‑ekspresionisme diperdebatkan. Pertama yaitu mengenai ruang spasial dan kedua metodologinya. ) Sebenarnya Seni Minimal dan Seni Pop secara bersamaan muncul sebagai dua aliran yang menawarkan suatu konsep alternatif. Pembaharuan ini bermula dari Inggris sekitar tahun 1952, yang melibatkan seniman‑seniman negara Eropah lainnya, kemudian secara luas diperhatikan oleh para seniman Amerika tahun 1960‑an. ) Gaya seni yang berkaitan dengan Seni Minimal, menurut Gablik antara lain Suprematisme, Konstruktifisme. Konsep Minimal Art. Seni Minimal merupakan gerakan yang berontak terhadap penghargaan yang berlebihan bagi Seni Ekspresionisme, terutama kecendrungan memistikkan seni. Mereka memprotes karena hilangnya bentuk dalam lukisan. Seni Minimal berusaha untuk mencari objektifitas yang tidak dimiliki oleh Ekspresionisme, terutama Abstrak Ekspresionisme. Dalam usaha untuk mendapatkan kembali unsur bentuk , sebagian seniman Minimal bekerja atas dasar bentuk‑bentuk dasar dan geometris, bentuk yang sudah dikenal umum seperti segi empat, lingkaran, silinder dan kubus. Bentuk dasar ini tidak membawa arti apa‑apa. Dengan sengaja permukaan bentuk dibuat bersih seperti pada alat‑alat teknis biasa. Karya Seni Minimal tidak dibangun sebagai komposisi yang menganut langkah demi langkah, bagian demi bagian yang ditambahkan sesuai dengan ukuran bentuk dan warnanya. Tetapi Seni Minimal merupakan visualisasi suatu sistem logis yang bertitik tolak dari sifat khas yang dipunyai oleh sebuah modul tertentu. Bentuk yang sederhana dari Seni Minimal tersebut menjadi berharga bila dihayati, dalam hubungannya dengan lingkungan seperti : ruangan, arsitektur dan pemandangan alam. Hubungan tersebut diatur sedemikian sehingga muncul suatu visi akan struktur atau keteraturan. Dan keteraturan itulah yang menjadi karya seni yang sebenarnya. Ada yang berpendapat bahwa seni Minimal adalah seni yang minus simbolisme, minus pesan dan minus pernyataan pribadi. Kemudian dinyatakan pula ; " Meaning follow from the presence of the work of art, not from its capaity to signify absent events or values" ( Battcock). Sedangkan Frank Stella menyatakan : " You see what you see". Namun prtoses penglihatan mengarah kepada suatu situasi psikologis yang tidak dapat diungkap dengan kata. ). Tujuan Seni Minimal diikuti oleh Seni Pop, keduanya mempunyai tujuan yang sama, tetapi jalan yang ditempuh untuk mencapainya berbeda. Kedua‑duanya ingin keluar dan mencari alternatif lain dari Abstrak‑Ekspresionisme. Yang diharapkan oleh kaum Seni Minimal adalah mencapai penafsiran yang lebih baru mengenai tujuan dari seni patung. Don Judd, Morris dan Barbara Rose telah menerbitkan artikel yang menguraikan mengenai syarat‑syarat estetika baru agar karya mereka dapat dipahami. Secara khusus Judd menunjukkan suatu kemungkinan untuk norma dan kesepakatan dalam seni lukis dan seni patung. Dia merasa bahwa semua karya lukis adalah bersifat ilusi , yang menyebabkan terlihat mengagumkan . Disini yang penting adalah melenyapkan ruang khayalan, dan hal tersebut dapat dilakukan hanya dengan cara menghilangkan keterkaitannya dengan bentuk dasar gambar. Ruang yang sesungguhnya tidak berdiri sendiri, tetapi sesungguhnya tidak berdiri sendiri, tetapi lebih dari sekedar memantulkan kesan ruang . )
SENI MODEREN, Konsep seni moderen: adalah refreksi dari beberapa sikap yang berasal dari masyarakat ( Eropah dan Amerika khususnya), yang mencerminkan sifat liberal (kebebasan) yang dimulai pada abad ke keduapuluh. Didalam seni lukis hal itu tercermin sejak tahun 1910, yaitu sejak timbulnya gerakan impresionisme yang termasuk kepada apa yang disebut dengan gerakan seni avan‑gardis di Eropah.Suatu kenyataan bahwa gerakan ini sinonim dengan gerakan "eksperimental". Atau dengan kata lain bereksperimentasi dalam seni sebagai suatu cara dalam kerja seni yang bersifat rasionil atau irrasionil, yaitu suatu trend atau kecendrungan umum ditemui dalam seni moderen .Digarisbawahi pula bahwa kemerdekaan berfikir dan berkonsep dalam seni dimulai dari ekspresionisme. Dan itu pula salah satu alasan kenapa dalam banyak pembahasan seni, pembahasan seni moderen dapat dimulai dari ekspresionisme, tanpa mengabaikan semangat jejak pendahulunya seperti realisme, realis‑romantisme, impresionisme dan sebagainya. Sebenarnya semangat "rasional dan Irrasional" ini , atau antara keduanya memberikan inspirasi untuk menolak segala sesuatu yang berbau tradisional dan yang otoritas dalam seni ( anti‑authoritarian dan anti‑traditional). Pengembangan dalam eksperimen seni umumnya melalui sistematika berfikir, ( walaupun didalamnya juga dalam hal seni yang besifat intuitif seperti seni espresionisme), dan juga selalu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Metoda‑metoda ilmu pengetahuan umum memberikan rangsangan kepadanya termasuk imajinasi yang dikandungnya. Konsep mengenai pengembangan seni tidak selalu dilihat dalam waktu atau diturunkan menurut panjang, linear, dan lama disenangi, perkembangan itu bisa kelihatan hanya dalam waktu yang singkat, cepat, bersegi banyak, dan terlihat secara simultan serta bersifat fragmentasi. Jadi tidak selalu kelihatan linear. Demikian juga kategorisasi serta klassifikasi yang diberikan oleh ahli sejarah seperti dalam pengertian "gaya" atau "Style" juga kelihatannya tidak selalu demikian . Sebab "style" itu kadang‑kadang disebut dengan "gerakan" ( Movement) Beberapa ciri dari seni moderen ini antara lain : 1) Seni itu memiliki konsep berdasarkan teori atau ide tertentu yang berasal dari kondisi seni itu sendiri atau kondisi alamiah dari seni yang di prakondisikan kembali.2) Seni moderen dan konsepnya selalu memberi tekanan dan berhubungan langsung dengan program setiap dia hendak memulainya. Mereka selalu berhubungan dengan manifestasi (pernyataan), dokumen, dan program deklarasi tertentu. 3)Tiap gerakan bebas diciptakan, apakah oleh seniman sendiri ataukah hanya oleh kritikus seni dalam membentuk dasar‑dasar pemikiran serta konsep mereka dalam gerakan seni tertentu, atau dalam membentuk konsep mereka. 4) Ada gerakan seni moderen yang semata hanya 'konsep' saja dan atau karya‑karya seni yang dipahami sebagai dalam satu "term" misalnya abstrak‑ekspresionisme. ) 5) Dan ada pula seniman yang tidak hanya berada dalam satu gerakan saja tetapi masuk kedalam berbagai gerakan seni moderen misalnya, Picasso. 6) Kecendrungan terakhir dari gerakan seni moderen adalah penekanan kepada konsep seni, dan mengabaikan materialnya. Seni Konsep sebagai suatu ide, adalah suatu gerakan yang akhirnya membawahi berbagai bentuk kesenian, dan ini salah satu alasan kenapa disebut sebagai ultra‑Konseptualisme. Bagaimanapun 'immaterialnya' Konseptualisme, sebagai seni ia berkaitan dengan masalah abstraksi dari gagasan, ide, atau konsep. Seni konsep yang awalnya memperjuangkan ide murni dan immaterial pada akhirnya larut dalam abstraksi berkesenian, sehingga menimbulkan berbagai bentuk seni baru, yang meskipun ada kesamaannya, satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas, antara lain : "Performance Art, Proccess Art, Earth atau Land Art, Happening Art, Environments ' dan sebagainya. Yang paling khas dalam abad ke sembilan belas dan dalam batas‑batas tertentu di abad dua puluh ialah sikap para seniman yang terus menerus berusaha mencari gaya‑gaya baru ditengah kehadiran gaya lama di tempat seniman itu sendiri, dan gaya masa kini di rantau orang. Mereka ingin menemukan wahana yang cocok untuk mengungkapkan gejolak batin yang kuat, seniman yang mengutamakan kebebasan pribadi beralih mencari bentuk yang lain. Diantara usaha para seniman bukan hanya bercermin kepada hasil‑hasil seni masa lalu yang dianggap sebagai 'master piece' tetapi juga belajar kepada seni‑seni lainnya . Hal ini semakin gencar sewaktu komunikasi dan globalisasi sudah melingkupi setiap sudut di dunia ini.
SENI RUPA BARU 1975, suatu gaya seni dan gerakan baru dalam seni yang membuang kaidah seni sebelumnya oleh kelompok seniman muda Bandung dan Yogyakarta. Dan adanya keinginan untuk meniadakan batasan‑batasan yang kaku dalam kesenirupaan. Diantaranya juga anti terhadap lirisisme , dan adanya kecendrungan seni kepada keaktuilan atau kekongkritan. Jika lirisme menyaring dan menjelmakan (menstransformasikan) pengalaman serta emosi kedalam dunia imajiner, maka dalam kecendrungan Seni Rupa Baru 1975 seakan‑akan seniman menghindari penyaringan dan transformasi tersebut. Bukan gambaran benda‑benda yang diperlihatkan, melainkan benda itu sendiri disuguhkan. Bukan rasa jijik yang tersaring dan memuaskan imajinasi, melainkan rasa jijik yang nyata dan tanpa jarak yang ditampilkan, yang membuat orang berpaling dengan rasa muak. Pengalaman hendak dicapai sekongkrit mungkin dan seaktual mungkin. Kelompok ini berkonsep bahwa karya seni bukalah sepotong dunia imajiner yang direnungi dari suatu jarak, melainkan objek kongkrit yang melibatkan penanggap secara fisik. Hal ini nampak dalam "Pameran seni lukis 74 ( B.Munni Ardhi, Harsono, Nanik Mirna) dan " Pameran Seni Rupa Baru Indonesia 75" ( Jim Supangkat, Hardi, Harsono, B.Munni Ardhi, Siti Adyati dan lain‑lain). Kalau kita harus menyebut karya‑karya mereka "seni lukis" perlu dicatat bahwa karya mereka itu bukan "lukisan" dalam pengertian yang lazim.
SENIMAN MASYARAKAT, Nama sanggar, yang didirikan oleh Affandi di Yogyakarta tahun 1946 setelah pindah ke Yogyakarta, kepindahan seniman‑seniman ini juga karena pindahnya Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Sanggar ini adalah cikal bakal dari SIM , sebab berganti nama jadi SIM.(Seniman Indonesia Muda ).SENIMAN, yang muncul masa SIM, menarik pula penulis seperti Wiratmo Sukito, Usmar Ismail, Anas Makruf dan Trisno Sumardjo ke lingkungan kegiatan SIM. Trisno Sumardjo bahkan terangsang untuk melukis
SIM (SENIMAN INDONESIA MUDA) , awalnya adalah Affandi, Rusli , Hendra dan Harijadi, yang membentuk perkumpulan sanggar "Seniman Masyarakat" pada tahun 1946 Di Yogyakarta Setahun kemudian (1947) mereka bergabung dengan Sudjojono dalam SIM ( Seniman Indonesia Muda) yang dibentuk di Madiun pada tahun 1946, tetapi yang kemudian pindah ke Surakarta di tahun 1947 dan akhirnya ke Yogyakarta 1948. SIM menghimpun banyak pelukis, diantaranya Affandi, Hendra, Sudarso, Sudiardjo, Trubus, Setjoyoso, Dullah, Rusli, Hariyadi, D.Joes, Suromo, Surono, Abdul Salam, Sudibio, Kartono Yudhokusumo, Basuki Resobowo, Oesman Effendi, Srihadi Sudharsono dan Zaini. Para pelukis SIM membuat lukisan bertemakan perjuangan, diantaranya banyak yang lukisan‑lukisan besar yang berukuran 2 m x 3 m, membuat poster, menye lenggarakan pameran, dan menerbitkan majalah kebudayaan "Seniman" yang dengan demikian menarik pula penulis seperti Wiratmo Sukito, Usmar Ismail, Anas Makruf dan Trisno Sumardjo ke lingkungan kegiatan SIM. Trisno Sumardjo bahkan terangsang untuk melukis. Dalam masa perjuangan itu terdapat pengertian dan hubungan yang erat antara para pemimpin politik dan para pelukis. Kementerian Penerangan, Sekretariat Menteri Negara Urusan Pemuda dan Markas Besar Tentara Keamanan rakyat, menjadi penunjang seni lukis, dengan memberikan biaya, sarana dan pesanan. Karya para pelukis dibeli dan dikumpulkan Pemerintah dengan maksud mendirikan Museum Dokumentasi Perjuangan Negara Republik Indonesia. Dalam masa itu tamasya seni lukis bukan saja dikuasai oleh tema perjuangan dan penggambaran kehidupan rakyat jelata, melainkan juga oleh pengaruh gaya Sudjojono dan Affandi.
SRIHADI Sudarsono ,Pelukis, Pengajar Seni Rupa ITB. Kelahiran Solo 4 Desember 1931. Berdomisili di Bandung. Pendidikan Seni Rupa ITB. Bandung 1959. Ohio State University, AS. Sebelumnya dia anggota perkumpulan pelukis "Sanggar Seniman" Bandung 1952. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Mendapat berbagai penghargaan seni atas karya‑karyanya. GAYA SENI : Pelukis /seniman dengan kecendrungan seni lukis abstrak di Bandung ,pada tahun 1960 meninggalkan gaya yang ditempuhnya sampai waktu itu, yang dirasakannya "terlampau dingin". Ia meninggalkan disiplin geometri dan penggambaran benda‑benda yang membuat dua macam eksperimen. Dalam eksperimen yang satu, kanvasnya memperlihatkan ledakan‑ledakan warna yang terang. Dalam eksperimen yang lainnya ia menempelkan potongan‑potongan kertas dan memadukannya dengan sapuan‑sapuan wana yang spontan. Dari eksperimen ini Srihadi menghasilkan lukisan abstrak. Dengan begitu muncullah lukisan abstrak dalam perkembangan seni lukis Indonesia baru. Tetapi Srihadi hanya singgah. Hanya antara 1960‑1962 ia melukis demikian. Srihadi mengenal kerja "melukis" dimasa perang tahun 1947 sebagai sukarelawan, membuat sketsa‑sketsa peristiwa‑peristiwa penting. Ia lahir di Solo, 1931, dan di sini pula ia pernah berkumpul dengan Sudjojono, Affandi dan lain‑lain, yang waktu itu telah bergabung dalam SIM. Secara tak langsung ia mendapat pendidikan melukis dari pelukis ini.Tahun 1953, ia belajar ke Bandung ( sekarang Dept. Seni Rupa Institut Teknologi Bandung). Di sini ia mengenal melukis adalah menyusun garis, warna, ruang dalam lukisan .Pada lukisan Srihadi di masa ini terlihat sejumlah besar garis yang tersusun ritmis, rapih. Objek‑objek menjadi tak penting dan sebagai gantinya muncullah warna‑warna tersusun harmonis. Tiga empat tahun melukis demikian, Srihadi merasakan lukisannya mati, dan hanya menampakkan sesuatu yang indah dan manis. Ia merasa terikat. Kedinamisan yang dirasakan dimasa‑masa yang lalu, pada lukisannya, membuat Srihadi kemudian ingin melukiskan gerak. Maka sejak 1959 ia mulai mengurangi garis‑garis dalam lukisannya. Kemudian di tahun 1960‑1961, ia melukiskan coretan‑coretan yang lepas, dinamis dengan warna‑warna transparan. Dan disinilah, lewat perkembangan "konsep" melukisnya, Srihadi menghasilkan lukisan "abstrak". Srihadi tidak bertahan lama pada penemuan abstraknya, sesudah 1962, lewat noktah‑noktah warna lukisannya, ia menemukan bentuk‑bentuk menyerupai figur; maka kembali Srihadi menghasilkan objek‑objek, antara lain horison, Dan di tahun 1971 ia bahkan ia memasukkan unsur‑unsur cerita ke dalam lukisannya.
SRIHADI SUDHARSONO , anggota SIM ( Seniman Indonesia Muda) yang dibentuk di Madiun pada tahun 1946, tetapi yang kemudian pindah ke Surakarta di tahun 1947 dan akhirnya ke Yogyakarta 1948.
SUATMADJI, Pelukis. Kelahiran Yogyakarta, 25 maret 1952. Berdomisili di Yogyakarta. Pendidikan SSRI Yogyakarta 1968‑1970.STSRI‑"ASRI" Yogyakarta 1978. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Mendapat berbagai penghargaan seni atas karya‑karyanya. Gaya Seni: Pelukis bergaya fantasi abstrak . Lahir tahun 1952, Mula‑mula bercita‑cita jadi dalang wayang kulit, kemudian tertarik kepada seni lukis.Sejak kecil banyak mendapatkan penghargaan di bidang seni. Baik dalam maupun luar negeri. Tahun 1970‑1975, mengikuti kegiatan sanggar kesenian sekolah tahun 1970 membentuk kelompok yang pertama untuk berpameran di Balai Prajurit Yogyakarta dengan sponsor W.S.Rendra. Kuliah di STSRI‑ASRI. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Dia mengumpulkan imaji‑imaji yang bukan saja berasal dari tingkat kenyataan yang berbeda, melainkan juga yang bergaya berbeda‑beda. Suatmaji melepaskan diri dari ikatan dengan objek‑objek, menjelajahi berbagai segi dan berbagai pengalaman. Dalam seni lukisnya , Suatmaji ingin menyatukan hal‑hal yang justru kontradiktif hingga menjadi satu simbol yang harmonis.
SUBROTO SM.Pelukis. Kelahiran Klaten 23 Maret 1946. Berdomisili di Yogyakarta. Pendidikan 1965 di SSRI Yogyakarta, STSRI‑"ASRI" Yogyakarta , 1975. Banyakmengadakan pameran. Mendapat berbagai penghargaan seni atas karya‑karyanya.
SUCIPTO ADI, Pelukis muda generasi 80‑an Indonesia, khususnya mashab Yogyakarta, dengan gaya surealime barunya. Hal ini terjadi akibat pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan surealisme para pelukis muda di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
SUDARISMAN, Pelukis muda generasi 80‑an Indonesia, khususnya mashab Yogyakarta, dengan gaya surealime barunya. Hal ini terjadi akibat pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan surealisme para pelukis muda di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
SUDARSO, Pelukis. Kelahiran Pancasan, Banyumas 25 juli 1914. Pendidikannya hanya sampai SD. Pertama dia adalah anggota Pelukis Rakyat yang didirikan oleh Affandi, dan SIM, kemudian menjadi pelukis bebas.
SUDIARDJO, Pelukis, Anggota PERSAGI,( Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan oleh Agus Djaja tahun 1938 .Pelukis yang bergaya Fantasi sekitar tahun 1940‑50 an. Kemudian zaman revolusi (tahun 1945‑1949) pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan SIM (seniman Indonesia Muda). Kepindahan seniman‑seniman ini juga karena pindahnya Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta.
SUDIBIO, Pelukis, Kelahiran Madiun. Kegiatan melukisnya dimulai di kelompok "Tunas Muda Madiun" bersamasoediono. Pelukis yang bergaya Fantasi sekitar tahun 1940‑50 an ,Anggota PERSAGI, anggota SIM ( Seniman Indonesia Muda) yang dibentuk di Madiun pada tahun 1946, tetapi yang kemudian pindah ke Surakarta di tahun 1947 dan akhirnya ke Yogyakarta 1948.Lukisannya cendrung kearah primitivisme dan realisme yang dekoratif. Banyak mengadakan pameran.
SUDJANA KERTON, pelukis, desainer, Kelahiran Bandung 22 Nopember 1922. Berdomisili di Bandung. Pendidikan Academi de Grade Chaumiere, Paris; Arts Student League, New York. American School of Desain and Advertising, New York, Traphagen School of Fashion, New York. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Mendapat penghargaan seni atas karya‑karyanya.
SUDJONO ABDULLAH, pelukis, saudara Basuki Abdullah yang juga seniman, namun kepopulerannya kurang dibandingkan dengan Basuki Abdullah
SUGENG SANTOSA. Tokoh Seni Rupa Baru 1975; Pelukis eksperimental Indonesia periode 1970‑1973‑an. Gaya seni : melukis melalui meneliti, menganalisa, mengukur dan menghitung, dalam rangka mencari dan menimbulkan gejala optis dalam struktur yang bersistem. , sebagai penolakan terhadap gaya sebelumnya yang "lirysisme", sehingga gaya seni mereke lebih rasional.
SUHADI, Pelukis, Lahir 23 Agustus 1937 di Bogor. 1956 sampai 1961, mendapat pendidikan di Akademi Seni Rupa Yogyakarta (ASRI) , dan keluar dari ASRI. Sejak keluar dari ASRI menjadi pelukis bebas. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Dan menetap di Yogyakarta. Gaya Seni: Pandangannya dalam seni lukis yang mempertahankan ciri‑ciri ke Indonesiaan.
SUKAMTO DWISUSANTO , pelukis. Kelahiran Godean, 27 Agustus 1952. Berdomisili di Yogyakarta. Pendidikan SSRI, Yogyakarta, Pendidikan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta . Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri.
SUKARJI, Pelukis Masa pertama , generasi sesudah Raden Saleh. Berlangsung dalam empat puluhan tahun pertama abad ini.Tumbuhnya seni lukis pemandangan alam, Perhatian objek alam lain seperti manusia, tetapi pemandangan alam mempunyai kedudukan utama dalam seni lukis mereka.
SULARKO, pendiri perkumpulan pelukis "Pelangi" , perkumpulan ini berdiri antara tahun 1947‑1949 di Surakarta.
SUMINTO, Pelukis , keramikus. Lahir 25 April 1942. Tahun 1957 belajar melukis di "Sanggar Pelukis Indonesia" dibawah bimbingan pelukis Solihin. 1959, masuk ASRI Yogyakarta, 1965 keluar dari ASRI dan pindah ke Jakarta. Banyak mengikuti pameran antara lain dengan Sri Widodo , Mustika, Aming Prayitno. Sekarang lebih banyak mencipta bidang keramik.
SUMITRO, Anggota PERSAGI, Pelukis masa Kedua Seni Rupa Indonesia , kemudian Anggota Pelukis Rakyat yang didirikan oleh Affandi karena bertentangan dengan SIM Pada tahun 1950 keluar dari pelukis Rakyat karena perkumpulan ini terlibat politik (komunisme: Lekra ) dan membentuk Pelukis Indonesia, dengan anggotanya antara lain Sholihin dan Kussudiardjo
SUNARTO PR.Pelukis. Kelahiran Banyumas, 20 Nopember 1931. Berdomisili di Jakarta. Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia 195‑1958. Banyak mengadakan pameran.
SUNARYO, Pelukis, pematung, grafikus Kelahiran Banyumas 15 Mei 1942. Pendidikan Seni Rupa ITB.Bandung mulai tahun 1962 Jurusan patung. Sekarang Staf pengajar di jurusan yang sama. Kegiatannya melukis, mematung dan grafis. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri antara lain di Carrara, Italia.
SUPARTO, pelukis, pematung; Kelahiran Yogyakarta 1924. Mendapat pengajaran seni pertama di Bandung 1944. Antara tahun 1945‑1974, berada di Yogyakarta dan Surakarta serta menjadi anggota "Seniman Muda Indonesia" (1947). Sejak tahun 1950 tinggal di Jakarta, mendapatkan inspirasi dari benda‑benda purbakala di Museum Pusat Jakarta. Mulai mematung tahun 1962 dengan bahan kayu dan bubuk batu. Kemudian membentuk jambangan‑jambangan yang didekorasi.
Gaya Seni ; Karya‑karya Suparto , diantaranya dari cat air (1947), lebih imajinatif dan ekspresif dari pada sekedar realisme biasa. Objek gambar Suparto biasanya telah di "demorfasi", sedemikian rupa sehingga menggambarkan keinginan Suparto untuk bereksploirasi dengan tema maupun teknik. Dalam hal ini kita dapat mengatakan pengaruh "demorfasi" dan "stilasi" seni patung terhadap karya seni lukis Suparto, terutama dalam hal stilasi dan penggubahan bentuk figur yang digambarkan.
Tema seni lukis Suparto yang lain adalah pengantin Jawa, mengekspresikan nilai tradisionil Jawa. Tema lainnya yang ingin diangkat kedalam format seni Suparto adalah seni prasejarah Indonesia, tema semacam ini banyak mengekspresikan nilai magis, terutama untuk karya patungnya yang mengambil ide dari daerah Nias, Batak, kalimantan dan lainnya. Jadi kecendrungan seni Suparto adalah untuk menggali nilai‑nilai tradisional Indonesia, baik dalam seni lukis maupun dalam seni patungnya. Hasil akhirnya adalah ‑ terutama dalam seni lukis‑ memperlihatkan gaya dekoratif ketimurannya. Penemuan tema dekoratif ini , adalah akibat ingin mengangkat kembali nilai ke‑Indonesiaan untuk format seni yang baru. Dan Suparto merasa yakin telah menemukan format berkeseniannya, terutama sekali dalam hal stilasi bentuk‑bentuk manusia, pohon, binatang dan sebagainya yang merupakan ciri khas seni daerah Indonesia. Suatu hal yang khas lagi bagi Suparto adalah karya patungnya yang diwarnai dengan acrilik. Teknik berkarya Suparto umumnya adalah dengan membuat beberapa sketsa dahulu, kemudian baru diterapkan pada karya yang sebenarnya. Bentuk‑bentuk binatang dalam wayang dan bentuk punakawan juga menarik perhatian Suparto, disamping bentuk orang, wanita dan sebagainya. Warna lukisannya berkesan lembut, sebagaimana warna tenunan lurik Jawa. Dia banyak menggunakan garis‑garis , warna yang di lukiskannya secara cermat disetiap bagian sehingga menghidupkan kesan dekotratif. Dan tidak ekspresif sebagaimana karya Sudjoyono dan Affandi.
SUPER‑REALISME, Super‑Realisme adalah suatu gaya yang berkembang di Amerika. Aliran Super‑Realisme, di Eropah disebut juga dengan 'hiper‑Realisme' dan karya‑karya gaya ini karena menggunakan foto sebagai alat atau menyerupai foto kadang‑kadang disebut juga 'Foto‑Realisme'. Seperti aliran Realisme yang berkembang sekitar abad kesembilan belas, dan seperti juga aliran setelah Abstrak‑Ekspresionisme yaitu Seni Pop, Super‑Realisme adalah suatu cara memandang dunia tidak dengan ilusi, namun dengan penghayatan terhadap realita itu sendiri. Super‑Realisme berkembang sekitar pertengahan tahun 1960 hingga pertengahan tahun 1970 di Amerika. Seperti juga aliran‑aliran seni yang lain, yang muncil sekitar tahun 1960‑an, antara lain Seni Pop dan Seni Minimal, lahirnya aliran Super‑Realisme didasari oleh keinginan untuk kembali kepada bentuk, yang pada aliran sebelumnya, yaitu Abstrak‑Ekspresionisme. Super‑Realisme dua dimensi yang didasarkan pemanfaatan foto itu disebut juga foto Realisme. Seniman Super‑Realisme pada dasarnya berusaha untuk menghasilkan representasi realita yang memiliki kualitas, baik dari segi bentuk, warna maupun efek cahaya dan sebagainya yang lebih baik dari kualitas realita yang sesungguhnya. Seniman kembali ke objek, yang akhirnya menonjolkan sifat‑sifat yang dangkal dari karyanya. Kedangkalan ini adalah ciri‑ciri umum dari Super‑Realisme. Terutama sekali dalam hal memindahkan realita tiga dimensi kedalam bidang dua dimensi diantaranya melaui reproduksi dari foto hasil kerja kamera. Seniman kelompok ini umumnya tidak bekerja melalui pengamatan terhadap realitas secara langsung, tetapi memanfaatkan gambaran realitas hasil kerja kamera. Pada waktu fotografi muncul dengan reproduksi kenyataan alam yang amat sempurna, seniman‑seniman ini mengundurkan diri dari kegiatan representasi realitas visual, namun pada masa 1960‑an, fotografi oleh sejumlah seniman dijadikan sebagai masalah dalam seni rupa, yaitu sebagai bahan baku yang perlu diolah. Sebuah foto dimanfaatkan sebagai contoh, namun diterjemahkan sebagai media dan bahasa seni rupa, seperti seni grafis dan seni lukis dimana secara cermat dilakukan untuk membuktikan adanya perbedaan foto dengan lukisan dalam hal representasi realita. Kamera dianggap sebagai titik awal sebuah informasi dan lukisan adalah titik akhir dari proses mencipta. Dan karya seni dianggap lebih sempurna dari realita ) Karya seni patung Super‑Realisme tidak didasarkan pada hasil kerja kamera, tetapi didasarkan pada pengamatan terhadap sikap, pose atau adegan yang dihasilkan oleh olah tubuh manusia dan lebih bersifat realistis. Karya patung Super‑Realisme merupakan peniruan realita dengan tujuan mewujudkan suatu adegan dalam kehidupan nyata yang lebih tepat, lebih ideal dari pada bila adegan itu diamati secara langsung. Proporsi figur yang ditampilkan sesuai dengan proporsi tubuh manusia yang sesungguhnya
SUPREMATISME, gaya seni di Eropah, Konsep dan pemikiran Surprematisme di cetuskan oleh Kasimir Malevich (1878‑1935), seorang seniman Rusia. Menurutnya untuk meng ungkapkan maksud (gagasan) bukanlah melalui proses imitasi (representasi alam) tetapi melalui proses kreasi (kreasi simbol /tanda?), Malevvich mengkritik penggunaan ikon ) (lambang‑lambang) tradisional pada seni representasional. Sehingga dia pada karya‑karyanya menggunakan bentuk‑bentuk unsur yang dirancang untuk mematahkan reaksi dari lingkungan serta menciptakan realita baru tanpa mengurangi kualitas pengertian, dan dibandingkan dengan kenyataan alam itu sendiri.Pada mulanya Kasimir Malevich adalah seniman yang semula mempelajari Kubusisme dan Futurisme, sampai dia menemukan sesuatu yang dia sebut sebagai suprematis ) Bentuk geometri yang dikembangkan oleh Malevic merupakan bentuk‑bentuk yang paling dasar, yang mengandung arti terlibatnya manusia di alam (hasil kreasi manusia), bukan alam. Bentuk bujur sangkar misalnya, adalah merupakan unsur suprematis yang paling dasar. Bujur sangkar adalah penolakan terhadap dunia rupa dan dunia masa lalu. Beberapa seniman yang pernah bergaya suprematis diantara Antoine Pevsner, Naum Gabo, Hendri Matisse , Jaques Lipchic, Alexander Archipenko, Jugo Gonzalez, Georges Vantongerlo.
SUPRIYADI, Pelukis. Kelahiran Ujung Pandang, 31 Maret 1931. Berkecimpung pada Pasar Seni Ancol jakarta. Berdomisili di Jakarta. Pendidikan SSRI Yogyakarta 1968. Setelah itu menempuh hidup sebagai pelukis. Mendapat berbagai penghargaan seni atas karya‑karyanya.
SUREALISME, di Indonesia : keindahan lukisan surealis, nilainya terletak pada gambaran‑gambaran yang sungguh tak terbayangkan itu. Ada dua tendensi pokok dalam surealisme di Indonesia : 1) Surealisme Ekspresif. Seniman melewati semacam kondisi tidak sadar, melahirkan simbol dan bentuk‑bentuk dari perbendaharaan yang terdahulu. Tendensi itu lebih didasari oleh faktor emosi, 2) Surealisme murni. Seniman menggunakan teknik‑teknik akademik untuk menciptakan ilusi yang absurd. Tendensi ini lebih banyak didasari oleh tafsir rasio,Surealistis seni lukis ,di Indonesia muncul didunia seni lukis sejak awal tahun 1980, berkembang secara jelas dari tahun ketahun dan kini semakin jelas. Surealistis banyak dikembangkan terutama oleh pelukis‑pelukis dari Yogyakarta, selanjutnya Surakarta, Surabaya dan Malang. Pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan surealisme para pelukis muda di Indonesia. Dan dalam sejarah seni lukis Indonesia, Surealisme yang berkembang sekarang ini merupakan sebuah gelombang besar dan mengherankan banyak orang, tercatat nama‑nama seperti Agus kamal, Ivan Sagito, Sudarisman, Lucia Hartini, Baoyke, Nurcholis,Effendi, Sucipto Adi, Asri Nugroho, Kubu Sarawan
SUREALISME, Konsep surealisme : pada zaman dahulu,ketika dunia masih dikuasai oleh kebudayaan Yunani, seni rupa selalu dikaitkan dengan realitas alam. Dari waktu kewaktu penilaian baik atau bagusnya seni rupa ditinjau dari kemampuan seniman mencipta karya yang mirip alam. Yang diluar garis kriteria itu lalu dianggap jelek. Dari konsep ini maka lahirlah karya‑karya patung manusia yang persis manusia, lukisan kursi yang persis kursi, gambar guci yang persis guci. Salah satu tokoh yang banyak memberi pengaruh adalah Aristoteles dengan ajaran filsafat seni yang intinya, seni yang baik adalah seni yang sanggup mengimitasi alam.Pandangan mengenai imitasi alam ini, lambat laun berubah. Seniman kemudian memandang alam semesta sebagai realitas yang dapat membangkitkan ide penciptaan karya seni rupa yang tak habis‑habisnya digali. Ada sebagian seniman yang bersikap terhadap alam sebagaimana adanya (wantah),seperti yang terungkap oleh indra penglihatan, oleh karenanya dia mengambil sikap meniru alam, nyaris tanpa menganalisa. Sebagian lagi yang lain sampai melewati batas‑batas realitas. Pada tahap demikian alam semesta tidak lagi dipandang apa adanya, melainkan menjadi alat untuk memancing imaji. Sehingga bentuk ungkap yang dihasilkan menjadi alam lain, yang penuh tafsiran serta analitis .Seni rupa surealis yang mengungkapkan bentuk‑bentuk alam lain sehingga merangsang penjelajahan emosi, imaji dan fantasi penikmat, menampakkan diri di Eropah setelah pengaruh kejayaan pandangan‑pandangan Yunani kuno banyak ditinggalkan. Konsep seni rupa yang semata‑mata memandang alam sebagai objek, pelan‑pelan digeser oleh pikiran seni rupa yang menghalalkan segala cara untuk menjadi objek seni, termasuk yang sama sekali non seni.Pada abad ke 16 pelukis Hyronimus Bosh dari Belanda mengguncang pandangan banyak orang lewat‑karya‑karya yang absurd. Lukisann Bosch yang berjudul "The Garden of Delight" misalnya, menggemparkan arena seni rupa klassik. Kemudian seniman lain, Pieter Bruegel juga melakukan hal yang serupa, dengan sejumlah lukisannnya yang ber‑ide sinting, aneh, sungguh mengganggu banyak orang pada waktu itu.Surealitas menjadi surealisme ketika dunia menginjak abad ke 20. Dan itu dicetuskan di Italia pada masa Perang Dunia I oleh Carlo Carra dan Giorgio de Chirio, melalui karya‑karya metafisis yang aneh, sepi dan melankolis. Selanjutnya manifesto kaum surealis dikibarkan tahun 1924, yang diikuti dengan pameran pertama lukisan surealisme pada tahun 1925 dengan seniman antara lain: Jean Arp, Max Ernst, Paul Klee, Chirio, Andre Masson, Joan Miro, Marc Chagal, Salvador dali, Yyes Tangui, Rene Magritte, Roberto Matta. Hakekat Surealisme : Apabila manusia memandang alam sebagai suatu realitas, maka kemudian diketahui adanya sesuatu yang tingkatannya diatas realitas (alam nyata) dan disebut sebagai surrealitas. Sur‑artinya = diatas dan realitas berarti kenyataan. Seni rupa surealitas atau akhirnya menjadi aliran yang disebut surealisme adalah seni rupa yang dalam tema menggambarkan hal ihwal yang serba ganjil yang tidak masuk akal atau mustahil. Segala sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan selama kita hidup di alam nyata. Surealisme sesungguhnya pada awalnya bukan aliran seni lukis, namun sastra. Sebutan ini dikemukakan oleh Apololinaire dan dipakai untuk menjuduli naskah dramanya pada tahun 1917. Namun surealisme akhirnya lebih populer sebagai aliran seni seni lukis. Aliran aneh dan gila ini landasan berfikirnya didasari oleh ilmu psiko‑analisa Sigmud Freud, pakar psikologi awal abad ke 20, yang inti ilmunya adalah "diatas alam sadar manusia ada alam lain: alam metafisis". Hingga karena itulah ketika gaya seni rupa ini muncul pertama kali, namanya adalah Pittura Metafisica atau lukisan metafisis, yang merupakan cara baru untuk melihat dunia ini, yang nantinya membuka jalan bagi kelompok karya‑karya yang lebih luas lagi, yakni kelompok surealisme.Secara umum, karya surealisme menggambarkan sesuatu yang aneh, asing melankolis, ilusif bahkan misterius. Objek meski masih nampak realis atau diambil dari realitas namun cendrung sudah dideformasi atau memetaformosa sedemikian rupa. Bentuk susunan dan kompoisisi objek serta komposisinya terhadap unsur‑unsur objek lain dibuat secara bebas dan aneh. Unsur‑unsur yang mendampingi objek bisa bermacam‑macam, seperti garis, warna, bidang, simbol, bagian‑bagian dari objek, unsur‑unsur alam atau detail‑detail alam. Perspektif seringkali dimanipulasi atau bahkan dicampur adukkan sehingga tidak jelas titik cakrawalanya. Kesan cahaya dan nada warnanya cendrung kontras dan dibuat berbeda dengan warna kenyataan objek. Pewarnaan ada yang mengarah ke plastisitas sebagian lain ada yang terkesan datar. Secara umum melihat karya surealisme seperti di alam mimpi, alam khayal. (Anarson, 1978:341‑344) Alam lain, alam mimpi, alam aneh, alam ganjil yang ada di fantasi, termanifestasikan dalam ujud yang penuh cerita dan pesona. Para peminat memperoleh gambaran‑gambaran dunia lain, dunia yang kadang di luar jangkauan fikiran.
SUROMO, Pelukis masa Kedua Seni Rupa Indonesia, Anggota PERSAGI, Kemudian zaman revolusi (tahun 1945‑1949) pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan SIM (seniman Indonesia Muda). Kepindahan seniman‑seniman ini juga karena pindahnya Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta.
SURONO, pelukis masa Kedua Seni Rupa Indonesia, Anggota PERSAGI, Kemudian zaman revolusi (tahun 1945‑1949) pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan SIM (seniman Indonesia Muda). Kepindahan seniman‑seniman ini juga karena pindahnya Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta.
SURYA PERNAWA, pematung. Kelahiran Singaraja Bali, 1939. Pendidikan Seni Rupa ITB.Bandung. Mengajar di jurusan patung yang sama. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri .
SUTIKNA bersama Affandi mendirikan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) ) di Jakarta pada tahun 1948
SUWAJI, Pelukis. Pengajar FSRD‑ISI Yogyakarta, Lahir 5 Mei 1942. Berdomisili di Yogyakarta. Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia tahun 1966. STSRI‑"ASRI" Yogyakarta ,1970. Pernah mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Mendapat berbagai penghargaan seni atas karya‑karyanya. Banyak mengikuti pameran . Dan menetap di Jogyakarta. Lukisan Suwadji berorientasi kepada topeng‑topeng primitif yang sudah jarang kita temui lagi sekarang, atau dengan kata lain yang menjadi objek seni lukis Suwadji adalah topeng.
SYAIFUL ADNAN, Pelukis Kaligrafi Islam. Kelahiran Saningbakar, Sumatera Barat, 5 Juli 1957. Berdomisili di Yogyakarta. Pendidikan SSRI‑ Padang, 1973. Pendidikan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta , 1976‑1982. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Mendapat berbagai penghargaan seni atas karya‑karyanya.